PROLOG
Sepasang anak kecil
tengah bermain ria ditengah curahan sinar matahari. Tapi tak seorangpun dari
mereka yang merasa panas. Mereka terus berlari dan berlari. Tidak kenal lelah
dan menyerah. Bagaikan sepasang merpati yang terbang bebas di langit yang luas.
Tak pernah ada dari
mereka yang tahu, mengenai takdir ciptaan Tuhan. Benang-benang halus telah
melekat dan tak akan pernah putus. Benang-benang yang telah melilit diantara
mereka berdua. Takdir yang begitu indah meski harus melewati badai yang menunggu
di depan.
Tapi mereka tetap
berlari. Mereka selalu bersama dan bergandengan tangan. Meski sesekali
gandengan mereka lepas, pada akhirnya kembali bertaut. Semua orang telah banyak
yang mengandai-andai di masa depan. Kelak akan jadi apa sepasang merpati ini.
Meski banyak perbedaan, justru mereka saling melengkapi.
“Liv, tunggu! Jangan
terlalu jauh.” Teriak anak laki-laki yang telah beberapa detik lalu berada di
belakang gadis kecil yang bermain bersamanya.
“Ayo Ver, semangat!
Oliver cepat sekali capeknya. Masa kalah dari Olive?” ledek si gadis kecil yang
memakai celana panjang dan kaus berlengan pendek serta topi yang bertengger di
kepalanya.
Meski gadis itu telah
berada cukup jauh didepannya, namun anak laki-laki itu masih bisa mengejarnya.
Ia menangkap tangan gadis itu lalu menariknya. Karena hilang keseimbangan,
gadis itu menabrak temannya yang menariknya, hingga keduanya jatuh bersama.
Jatuh di tengah-tengah
helaian rumput bunga dandelion. Helaian bunga yang mereka timpa hilang dan
terbang bersamaan ditiupnya angin ke udara. Sang gadis meringis kesakitan
karena sikunya yang langsung terkena tanah.
“Aku menangkapmu!”ujar
bocah kecil
“Aduh.., sakit.”si
gadis meringis kesakitan
“Mana? Coba aku lihat?
Biar aku obati.” Si bocah laki-laki itu sangat perhatian terhadap gadis itu.
Dia tidak bisa melihat sekecil lukapun terjadi padanya. Sang gadis juga telah
menganggapnya sebagai kakak.
“Sudah. Lukamu telah
bersih. Hoam...! aku capek Liv.” Kata si bocah sambil berbaring di tengah
rumput. Gadis kecil itu pun mengikuti apa yang dilakukan temannya.
“Olive juga sudah
capek.”
“Seandainya saja, kita
terus bisa seperti ini.”
Gadis kecil itu menoleh
pada temannya, “Maksud Oliver, waktunya dihentikan?”
“Ya, kurasa begitu.”
Mendengar jawaban temannya dia kembali menaruh kepalanya di helaian rumput.
Bocah laki-laki itu
kemudian menoleh kesebelah kiri. Melihat temannya yang asik menutup mata
mengadah ke arah langit, menikmati sejuknya udara hari ini. Cantik. Satu kata
yang ada dalam benaknya setiap melihat temannya dan tersenyum memandanginya. Ia
selalu merasa bahwa temannya adalah orang tercantik setelah ibunya.
Kemudian dia
mengalihkan pandangannya ke sebelah kanan. Takut kalau ia ketahuan sedang
memandangi temannya. Dan temannya itu akan mengerjainya mati-matian. Sebuah objek
tertangkap oleh matanya. Setangkai bunga yang begitu berwarna mencolok dari
bunga di sekitarnya. Indah. Benar-benar indah. Dia memetiknya lalu duduk
menghadap Olive.
“Liv, lihat ini!” “Ver,
lihat ini!”keduanya saling menunjukkan bunga yang ditemukan oleh mereka
masing-masing secara bersamaan.
“Cantik ya!” sahut
mereka antusias. “Punyamu juga!”
“Iya. Olive tahu bunga
ini?”
“Tahu, ini bunga
Amborsia. Katanya, bunga ini melambangkan ingatan yang tidak terlupakan.
Apabila kita memberinya pada orang lain, maka kenangan diantara kedua orang itu
tidak akan terlupa,”
“Benarkah?,” tanya
Oliver kagum. “Kalau begitu bunga ini Oliver kasih ke Olive saja. Biar kenangan
kita tidak hilang. Dan berjanjilah selalu menyimpannya.
Olive menerimanya
dengan senyuman dan menunjukkan bunga di tangan sebelahnya, “lalu Oliver tahu
ini bunga apa?”
“Ini bunga Edellwis.
Bunga ini melambangkan sebuah keabadian. Bila kamu memberikannya pada orang
lain, maka semuanya yang telah ada diantara orang itu selamnya akan abadi.”
“Kalau begitu, bunga
ini untuk Oliver. Simpan ya, dirawat jangan di telantarin.” Ucap Olive.
“Iya Liv..” sambil
menerima bunga dari Olive.
“Huh...!”Olive
menghembuskan nafas dengan kuat. “Ayo kita pulang Oliver!” ajaknya mengulurkan
tangan dan di sambut oleh merpati cantik itu.
Lalu mereka pulang
sambil bergandengan tangan. Menyusuri lebatnya helaian dandelion yang tinggi
dan terbang bersama angin yang berhembus. Meniup dan menerbangkan helai-helaian
rambut Olive yang tersenyum menikmati alam. Dan sekali lagi, Oliver
memandanginya. Berharap waktu terhenti, supaya ia dapat terus memandangi Olive.
Dan ia berharap dalam hati, untuk selalu dapat mengingat wajah Olive sahabat
kecilnya itu.
TO BE CONTINUE