Rabu, 22 April 2015

Me With Love


PROLOG

Sepasang anak kecil tengah bermain ria ditengah curahan sinar matahari. Tapi tak seorangpun dari mereka yang merasa panas. Mereka terus berlari dan berlari. Tidak kenal lelah dan menyerah. Bagaikan sepasang merpati yang terbang bebas di langit yang luas.
Tak pernah ada dari mereka yang tahu, mengenai takdir ciptaan Tuhan. Benang-benang halus telah melekat dan tak akan pernah putus. Benang-benang yang telah melilit diantara mereka berdua. Takdir yang begitu indah meski harus melewati badai yang menunggu di depan.
Tapi mereka tetap berlari. Mereka selalu bersama dan bergandengan tangan. Meski sesekali gandengan mereka lepas, pada akhirnya kembali bertaut. Semua orang telah banyak yang mengandai-andai di masa depan. Kelak akan jadi apa sepasang merpati ini. Meski banyak perbedaan, justru mereka saling melengkapi.
“Liv, tunggu! Jangan terlalu jauh.” Teriak anak laki-laki yang telah beberapa detik lalu berada di belakang gadis kecil yang bermain bersamanya.
“Ayo Ver, semangat! Oliver cepat sekali capeknya. Masa kalah dari Olive?” ledek si gadis kecil yang memakai celana panjang dan kaus berlengan pendek serta topi yang bertengger di kepalanya.
Meski gadis itu telah berada cukup jauh didepannya, namun anak laki-laki itu masih bisa mengejarnya. Ia menangkap tangan gadis itu lalu menariknya. Karena hilang keseimbangan, gadis itu menabrak temannya yang menariknya, hingga keduanya jatuh bersama.
Jatuh di tengah-tengah helaian rumput bunga dandelion. Helaian bunga yang mereka timpa hilang dan terbang bersamaan ditiupnya angin ke udara. Sang gadis meringis kesakitan karena sikunya yang langsung terkena tanah.
“Aku menangkapmu!”ujar bocah kecil
“Aduh.., sakit.”si gadis meringis kesakitan
“Mana? Coba aku lihat? Biar aku obati.” Si bocah laki-laki itu sangat perhatian terhadap gadis itu. Dia tidak bisa melihat sekecil lukapun terjadi padanya. Sang gadis juga telah menganggapnya sebagai kakak.
“Sudah. Lukamu telah bersih. Hoam...! aku capek Liv.” Kata si bocah sambil berbaring di tengah rumput. Gadis kecil itu pun mengikuti apa yang dilakukan temannya.
“Olive juga sudah capek.”
“Seandainya saja, kita terus bisa seperti ini.”
Gadis kecil itu menoleh pada temannya, “Maksud Oliver, waktunya dihentikan?”
“Ya, kurasa begitu.” Mendengar jawaban temannya dia kembali menaruh kepalanya di helaian rumput.
Bocah laki-laki itu kemudian menoleh kesebelah kiri. Melihat temannya yang asik menutup mata mengadah ke arah langit, menikmati sejuknya udara hari ini. Cantik. Satu kata yang ada dalam benaknya setiap melihat temannya dan tersenyum memandanginya. Ia selalu merasa bahwa temannya adalah orang tercantik setelah ibunya.
Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke sebelah kanan. Takut kalau ia ketahuan sedang memandangi temannya. Dan temannya itu akan mengerjainya mati-matian. Sebuah objek tertangkap oleh matanya. Setangkai bunga yang begitu berwarna mencolok dari bunga di sekitarnya. Indah. Benar-benar indah. Dia memetiknya lalu duduk menghadap Olive.
“Liv, lihat ini!” “Ver, lihat ini!”keduanya saling menunjukkan bunga yang ditemukan oleh mereka masing-masing secara bersamaan.
“Cantik ya!” sahut mereka antusias. “Punyamu juga!”
“Iya. Olive tahu bunga ini?”
“Tahu, ini bunga Amborsia. Katanya, bunga ini melambangkan ingatan yang tidak terlupakan. Apabila kita memberinya pada orang lain, maka kenangan diantara kedua orang itu tidak akan terlupa,”
“Benarkah?,” tanya Oliver kagum. “Kalau begitu bunga ini Oliver kasih ke Olive saja. Biar kenangan kita tidak hilang. Dan berjanjilah selalu menyimpannya.
Olive menerimanya dengan senyuman dan menunjukkan bunga di tangan sebelahnya, “lalu Oliver tahu ini bunga apa?”
“Ini bunga Edellwis. Bunga ini melambangkan sebuah keabadian. Bila kamu memberikannya pada orang lain, maka semuanya yang telah ada diantara orang itu selamnya akan abadi.”
“Kalau begitu, bunga ini untuk Oliver. Simpan ya, dirawat jangan di telantarin.” Ucap Olive.
“Iya Liv..” sambil menerima bunga dari Olive.
“Huh...!”Olive menghembuskan nafas dengan kuat. “Ayo kita pulang Oliver!” ajaknya mengulurkan tangan dan di sambut oleh merpati cantik itu.
Lalu mereka pulang sambil bergandengan tangan. Menyusuri lebatnya helaian dandelion yang tinggi dan terbang bersama angin yang berhembus. Meniup dan menerbangkan helai-helaian rambut Olive yang tersenyum menikmati alam. Dan sekali lagi, Oliver memandanginya. Berharap waktu terhenti, supaya ia dapat terus memandangi Olive. Dan ia berharap dalam hati, untuk selalu dapat mengingat wajah Olive sahabat kecilnya itu.

TO BE CONTINUE